Rabu, 04 Februari 2015

Gula Kawung dan Pohon Avokad


Gila!!! Membaca kumpulan cerpen terbitan Surah dari Abdullah Alawi dan A. Zakky Zulhazmi dalam bingkisan buku Gula Kawung dan Pohon Avokad saya sendiri EMOSI. Pertama lama tidak mendapatkan kabar dari salah satu penulisnya (A. Zakky Zulhazmi) sudah begitu emosi karena Bung satu ini adalah salah satu kawan nongkrongku ketika menjelang senja di kampus setiap kali hari rabu. teringat emosi saya ketika lagi asik diskusi di kelompokku yang selalu mengulas tentang kebudayaan dan hal ilmiah lainnya, bung satu ini enak cuek diskusi sendiri dengan kelompok Senja-Kala(itu). Tapi emosi yang saya luapkan bukan amarah tapi kebahagiaan karena fenomena seperti itu sangat romantis antara Kebudayaan dan Sastra duduk beriringan tapi beda sudut ketika di pandang dari jarak sekian meter tempat keberadaannya antara garis timur dan garis barat. Kedua emosiku membuncah ketika ada kabar lagi Buku barunya, Brengsek!!! Tapi aku senang ternyata Bung satu ini jalannya masih seirama dahulu tetap berada di garis Sastranya. Dan sebelum mengulas cerpen-cerpennya satu persatu pertama-tama saya ucapka Selamat Bung dan MERDEKA!!!

Membaca judulnya itu terlintas kenikmatan buah Avokad seandainya di campur dengan Gulah Kawung dan di campur Es pasti akan terasa yummi yummi… tapi itu terlalu lebay karena sebenarnya tinggal beli buah Avokad di tambah gula dan Es tapi sayangnya mengharapkan dapat gula kawung seperti yang di ceritakan itu dimana ya, lebay lagi aja deh. Dan yang membuat saya tidak habis pikir adalah gambar sampul bukunya yang di rancang oleh Hasyim Zain yang tinggi kenapa warnanya tidak sesuai dengan kodrat daun Avokad, ah mungkin itu disebabkan panas atau mungkin di suntikkan zat pewarna untuk daun pada batangnya sebelum tumbuh besar hehehe
Oke saya mendapatkan buku ini hari Selasa 3 Februari 2015 jam 11:45:51 Via Danny utusan dari Bung Zakky. Saya telah membacanya dengan tuntas pada hari itu juga, karena saya emosi, tergelitik membaca setiap lembarnya hingga saya berhasrat untuk membacanya terus dan terus sampai selesai tapi ternyata omong kosong seperti yang di ungkapkan oleh Penyunting bukumu (Bung Dedik Priyanto) dan ternyata memang benar omong kosong dan bualan belaka, bualan Gurih sebagai tulisan.

Abdullah Alawi sebelumnya saya tidak tahu betul paras sebenarnya seperti apa kalau melihat langsung, terlepas dari parasnya nama itu sudah familiar sebagai bagian dari Surah ditelinga saya. Tulisan yang di rangkum dalam buku ini begitu menggoda saya untuk mengingat-ingat apa yang ada di kampung kelahiran, tentang orang tua yang percaya akan mimpi yang turun temurun itu menggendong pesan, tentang lemahnya pemerintahan desa, tentang kondisi listrik dan ekonomi keluarga di kampung, tentang amarah anak muda dan kerinduang romantisme keluarga.
Gula Kawung, membaca judulnya sendiri sudah sangat manis dan nikmat. Isi yang ada dalam cerpen ini dari mimpi kemudian menjadi penyadap. Tapi nasib kebahagiaan anak yang dirampas bukan pada usianya sungguh membebani pikiranku, anak kecil yang selayaknya bermain dengan kebahagiaannya harus memikul nasib dari mimpi “menggiring air dari lembah sampai kebukit” yang kadung di ceritakan kepada kakeknya menjadi penyadap Gula Kawung, Jalu namanya.
Terlepas dari mitos atau tidak yang di riwayatkan oleh tetua kampung dahulu, kini Jalu harus menerima mitos yang di bangun kakeknya sebagai penyadap. Tapi akan terlihat heroik ketika Karuhun menitipkan warisannya hanya pada Ki Jabog, Ki Martabi, Ki Kusbi, Eyang Inok, Ki Aim dan kakeknya memberikan kebebasan pilihan nasib dan perubahan penafsiran mimpi yang seandainya seperti ini “Jalu, gapailah pendidikanmu setinggi-tingginya dan menjadi pemimpin yang amanah untuk kampung kita” sambil tangan sang kakek sambil mendekap pundak Jalu. Ah tapi itu hanya bualanku saja. Jalan Aspal Bulan Lima nasib yang kecil memang di timang-timang yang besar, di rayu janji yang membuat terbuai dan bisa di jatuhkan kapan saja. begitulah potret kampung Pojok yang terpojokkan nasibnya sesuai nama kampungnya, hingga beberapa kali pergantian Kadus tetap terpojokkan kebahagiaan untuk menikmati jalan seperti di kota-kota. Wasiat yang di sampaikan generasinya turun temurun bahwa pada bulan lima akan ada pengaspalan. nasib tidak membuktikan pesan orang tua, pengaspalan ternyata akan ada pada bulan dua belas untuk kepentingan tertentu, kuasa. Ah nasib si kecil akan terus di timang si besar dan ahirnya musibah yang di dapat sesuai dengan pengaspalan yang tidak sesuai dengan bulan yang di ceritakan para orang tua. Dalam cerpen ini menceritakan kondisi carut marut politik kepentingan yang ada di Indonesia bahwa yang kecil akan selalu di jadikan objek kepentingan, Sadis!!! Bagian yang paling membuat emosi dari cerpen Abdullah Alawi adalah Listrik Mati Lagi  bahwa kemiskinan akan membawa kita pada kekejian, tapi kaya juga jangan berlebihan tingkahnya karena akan membuat keji (Ceramah sedikit boleh lah), tapi kemiskinan yang ada pada cerpen ini membuat saya emosi karane anak di jadikan lumbung pangan bukan memperkejakan tapi membunuhnya satu persatu untuk mendapat sumbangan bela sungkawa beras dan minyak dari tetangga-tengganya, sialan. Satu persatu anaknya mati saat lampu mati dengan alasan sumbu dan minyak habis, atau jangan-jangan itu bentuk kesengajaan orang tua untuk membunuh anaknya dalam gelap, yang sebenarnya tidak tega membunuh kalau dalam keadaan terang. Satu hal lagi yang membuat saya kesal adalah Mak Emah membiarkan keadaan seperti itu terjadi pada cucu yang masih hidup, kenapa tidak mengasuh di rumahnya saja. Duh ya Emak emak. Jalu Mengasah Golok amarah anak muda yang membuncah ini jangan-jangan terusan dari Jalu yang menjadi penyadap Gula Avokad karena kesendirian selepas ditinggal sang kakek (Tidak di jelaskan keluarganya) wajar toh aku berasumsi seperti ini hehehe.. misteri golak makan tuan ini jangan-jangan pembunuhan yang bermotif ketika sukaan seseorang pada Jalu atau kecemburuan pada Golok Jalu yang bagus. Kalau saya menjadi tim mengidentifikasi fakta meninggalnya Jalu ini pasti saya akan meminta kejelasan pada orang yang baru datang dan pak RT yang berebut golok yang memakan korban empunya itu, dan kalimat yang menjadi penguat adalah kalimat terahir entah dari siapa “Tidak. Akulah yang pertama kali menggunakan golok itu untuk membunuh orang. Itu golokku” jreng…jreng…
Romantisme yang tidak diucapkan Antara Ibu dan Ayah ini membuat saya nyengir-ngengir sendiri ketika melihat tingkah laku ayah ibu yang saling menyembunyikan sesuatu pada anaknya ini hanya bisa bungkam, sebenarnya cinta. Atau jangan jangan ini ekspresi penulis dalam cinta yang selalu tersendat dan hanya menceritakan kekagumannya pada teman karibnya tidak keorangnya langsung hihihi piss ah hanya menafsiran asal-asalan saya aja kok. Tapi pesan yang tersembunyi dari tingkah laku ayah dan ibu si anak ini jangan di contoh loh akan membuat anak mempunyai imajinasi liar untuk menyelesaikan masalah, lebih baik ceritakanlah (Ceramah lagi deh) stop dulu tentang cerpenmu mas, akan lebih asik kita saling membantai di forum kalau memang akan diadakan.


A.Zakky Zulhazmi adalah penulis yang imut dan senyumnya yang selalu mengembang, matanya yang menerawang itu yang selalu saya rindukan. Hai Bung!!! Cerpen sampean ini loh bikin kesel Masjid Abah kenapa ga revolusioner banget sampai tidak sanggup mempertahankan peninggalan orang tua. Ternyata Abah Dahlan bagian dari borjuis lontong yang kalah dengan cobaan sampai masjid harus di jual pada pengembang, dan  terlalu sentimentil menghadapi cobaan harusnya biarkan masjid itu ada dari bagian apa yang di rencanaan pengembang untuk membangun real estate sehingga tidak perlu membangun masjid lagi cukup merenovasi, dan kenapa abah Dahlan toko agama terlalu liar tapi pendek menafsirkan mimpi dengan orang tuanya, saya tidak mengerti karena ini cerita belaka. Kenapa tidak di edit Keris menjadi Batu yang lagi ngetrend hahaha… cerita Lelaki dengan Rajah Akar di Pipi Kirinya yang di kemas dengan apik, tragedi Situ Gintung tahun 2009 ini memang memilikan karena saya sendiri berada pada kelompok relawan yang harus mengangkut korban dan mayat. Dan  kamu bung sukses melebay kan suasana dengan mitosnya heuheuheu…
Ternyata kang Nanang adalah penganut kesuksesan jalan pintas dalam cerpen Tidak ada yang minum Kopi malam ini, dengan mengorbankan tikus diajaknya dalam perbincangan usaha angkringan (tikus Ciputat juga banyak bung kalau mau bikin usaha juga). Angkringan memang tongkrongan yang lebih dekat dengan saya di banding tempat yang mewah dan berAC apalagi banyak perempuan yang cantik dan berRok mini yang memikat mata, mbook ya yang jangan di ceritakan Tikusnya itu loh heuheuheu, tapi benar kalau tidak begitu tidak akan laku dagangannya disamping itu katanya harus menggunakan jimat bung biar tambah laku, Batu mulia setidaknya hahaha. Tapi saya sempat membayangkan kalau tingkah pegangan tangan antara Amik dan Eva dalam cerita “Diam-diam aku simpulkan alangkah Indahnya rahasia ini” ini berlanjut tidak hanya sepenggal terus ilang (Terusin ya) itu romantis banget hehehe atau sampai orang tua keduanya ketemu dan saling menceritakan ketika kepergok Bulik Arum dari rimbun pohon manga, bikin Amik dan Eva cengar-cengir kuda heuheuheu jadi bukan hanya keindahan rindu ibu dan anak Cup…cup…Muach… momen KKN memang cerita yang sangat menarik, apalagi ada kenangan yang di bawa dari KKN atau  jangan-jangan cerita ini KKNmu yang di kemas selebay mungkin, mungkin. Silaturahmi memang indah seperti yang ada pada cerita Pohon Avokad pertemuan antara Nabila dan Bu Nonoh akibat terkilir ini membawa berkah sendiri bagi Bu Nonoh karena lauk pauk dan lainnya yang di bawakan Nabila (Ceramah berkah silaturahmi lagi deh). Pertemuan cinta karena pohon Avokad ini romantis, semoga Bung juga ada kabar tidak kalah romantis seperti cerita Pohon Avokad, tapi sebagai doa semoga nasib cintamu tidak seperti pohon Avokad yang tercabik-cabik hohoho…

Maaf saya mengungkapkan emosiku satu-persatu karena saya bener-bener EMOSI, MERDEKA!!!

Ef Suma 
3 Februari 2015

0 komentar:

Posting Komentar