Rabu, 10 September 2014

KOPI RAKYAT UNTUK MAHASISWA



KOPI RAKYAT UNTUK MAHASISWA
Azami Mohammad*

 
“Kalo ngerokok tapi gak ngopi, kurang mantap rasanya,”. Begitulah guyonan civitas akademis kampus UIN Jakarta di sela-sela waktu nongkrongnya. Hal ini menjadikan antara kopi dan mahasiswa ketika senggang tak pernah dilupakan. Namun, bukan berarti menyeruput kopi di waktu senggang bagi mahasiswa merupakan hal kosong tanpa bunyi dan substansi. Obrolan kopi ala mahasiswa inilah yang kemudian melemparkan berbagai isu dan obrolan menarik seputar sastra, politik, budaya, dan antropologi kampus. Ya, inilah ‘produk kebudayaan’ para civitas akademis dalam mengolah ruang intelektualitas dan artikulasi mereka.
 
Kantin, Koperasi mahasiswa, dan Warung kopi tak pernah sepi dari hiruk-pikuk mahasiswa. Perputaran ekonomi menengah ke bawah ini terus melaju bagaikan roda peruntungan bagi pelaku ekonomi tersebut yang hendak mempertaruhkan dirinya pada Ibukota Jakarta. Sadar atau tidak, fenomena yang terjadi terus-menerus antara ‘kopi’ dan mahasiswa akan menimbulkan dialektika informal antara mahasiswa dan ‘wong cilik’ sebagai pelaku ekonomi kreatif rakyat. Pola komunikasi seperti inilah yang mengkonstruksikan daya kepekaan mahasiswa terhadap kondisi sosial dan ekonomi bangsa ini. 

Dalam sejarahnya, gerakan mahasiswa di Indonesia selalu terbentuk dari kondisi sosial-kemasyarakatan hierarki paling bawah dengan para mahasiswa yang sering dikatakan sebagai ‘agent of change’. Runtuhnya rezim orde lama tahun 1966 dan orde baru pada tahun 1998 merupakan hasil dari konsolidasi antara mahasiswa dan masyarakat lapisan bawah. Dalam menggulingkan orde baru mahasiswa dan rakyat bergotong-royong menumbangkan rezim otoriter yang berkuasa selama 32 tahun lamanya.
Namun, hari ini mahasiswa telah terjangkit virus ‘life style’ ke barat-baratan. Pasalnya, Seven Eleven, KFC, dan tempat nongkrong import lainnya sedang merenggut romantisme mahasiswa dan warung kopi. Lihatlah Sevel (sebutan untuk Seven Eleven) yang setiap harinya selalu ramai dikunjungi penikmat produk import hingga 24 jam lamanya. Keramaian tersebut tak menggiring obrolan ringan soal sastra, politik, kritik kebijakan kampus terlebih lagi diskusi. Semua yang ada di dalamnya serba glamor, parlente, dan bersikap elitis. Ya, lagi-lagi ini soal selera, hak tersebut tak dapat digugat dan merupakan bagian dari dinamika. Singkirkan soal ‘idealisme’, ‘hedonisme’ atau apapun itu, sebab mungkin ini hanya soal selera dan pilihan.

Mahasiswa tak lagi ingin turun ke jalan, bergeliat dengan diskusi dan kajian yang kian terpinggirkan. Lucunya, hal ini terjadi setelah kebebasan berdiskusi telah direnggut kembali dari rezim otoriter orde baru. Seperti yang digambarkan oleh W.S Rendra dalam puisinya ‘Sajak Mahasiswa’ yang mengatakan “kampus diserang oleh tank baja, kata-kata dilawan kekerasan” betapa kebebasan yang secara instrument harapannya dicita-citakan oleh para mahasiswa selalu di marking oleh orde baru. Sungguh suatu hal yang signifikansinya mengarah kepada pola budaya intelektual yang jauh panggang daripada api.

Dewasa ini, kita bahkan nyaris tidak melakukan apa-apa terhadap kegamangan tersebut. Acuh-tak acuh, menggerutu, apatis, bahkan menganggap hal itu merupakan sebuah kewajaran yang terus-menerus dimaklumi. Bersikap tendensius dan menghujat tidaklah baik dalam etika civitas akademisi, yang ada hanyalah kritisisme. Maka, lagi-lagi penulis mengatakan ini hanyalah sekedar selera dan pilihan. Persoalan mahasiswa dan kopi rakyat, entahlah mungkin hanya akan ada nostalgia dan lembaran manuskrip romantik untuk membuka lembaran tersebut di kemudian hari.

*Penulis adalah Penikmat Kopi Warkop

0 komentar:

Posting Komentar