Kamis, 13 Februari 2014

PERGULATAN ISLAM DAN DEMOKRASI


PERGULATAN ISLAM DAN DEMOKRASI
Oleh: *Abdul Jalil

ABSTRAK
Sejak era demokrasi diterima sebagai sebuah sistem kehidupan berpolitik, terjadi diskursus yang tajam antara Islam dan demokrasi. Padahal jika dilihat dari perspektif doktrin, Islam dan demokrasi adalah dua hal yang berbeda. Namun demikian, secara substantif ada prinsip-prinsip demokrasi yang kompatibel dengan ajaran Islam, yakni prinsip keadilan, kesetaraan, kebebasan berpendapat, beragama dan berkeyakinan, yang kemudian menjadi prinsip universal demokrasi. Sebagaimana digambarkan dalam sejarah, Rasulullah saw mempraktikkan Negara Madinah dalam prinsip-prinsip demokratis. Beliau meletakkan fondasi dan pilar-pilar demokrasi itu di dalam dokumen tertulis, yaitu Piagam Madinah, yang merupakan konsensus bersama antara berbagai golongan, baik ras, suku maupun agama. Sistem demokrasi demikian bisa disebut sebagai transendental, karena kelangsungan sistem ini bukan berlandaskan kepentingan dan kekuasaan manusia semata, namun juga mengelaborasi nilai-nilai dan ajaran Ketuhanan yang termaktub dalam al-Qur’an sebagai instrumen kemaslahatan. Piagam Madinah telah mewariskan kepada kita prinsip-prinsip yang kokoh dalam menegakkan masyarakat pluralistik yang harmonis.
Pendahuluan
            Istilah demokrasi, bila dikaitkan dengan kata democrate (Prancis), democratia (Latin) dan demokratia (Yunani) adalah konsep klasik untuk menunjukkan adanya sistem kekuasaan dan pemerintahan partisipatif serta konstitusi yang sah. Demokrasi bukanlah suatu doktrin mati, melainkan sesuatu yang terbuka untuk diperdebatkan. Di kalangan para pemikir muslim, persoalan demokrasi telah menjadi “wacana” yang hingga kini masih hangat diperbincangkan. Paling tidak, muncul pertanyaan “Apakah Islam kompatibel (sesuai) dengan demokrasi?”.
            Dari sudut metodologis, mengkomparasikan antara Islam dan demokrasi tidak dapat dibenarkan, karena Islam merupakan agama[1] dan risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur ibadah, akhlak dan muamalah manusia. Sedangkan demokrasi hanyalah sebuah sistem pemerintahan dan mekanisme kerja sama antar anggota masyarakat serta simbol yang diharapkan membawa nilai-nilai positif. Dengan demikian, secara doktrinal, Islam dan demokrasi tidak mempunyai hubungan khusus, baik istilah, format pelaksanaan maupun sejarahnya. Islam secara mutlak diturunkan Allah SWT melalui RasulNya Muhammad saw, adapun demokrasi merupakan produk manusia yang pencetus idenya seorang filosof Yunani bernama Solon Kleistenes (hidup kurang lebih 600 tahun SM). Ketika itu, Solon mengadakan reformasi terhadap sistem[2] pemerintahan di kota Athena.
            Akan tetapi secara substantif, Islam dan demokrasi mempunyai keterkaitan dalam nilai-nilai dasar berupa asas kebebasan, keadilan dan kerja sama.[3] Namun demikian, pada kenyataannya tidak semua kalangan umat Islam menerima sistem demokrasi. Sebagian mereka tidak memandang demokrasi sekarang ini sebagai sistem pemerintahan yang berlandaskan kepada kebebasan, kerja sama politik, pluralism dan sebagainya, tetapi memandangnya sebagai rumusan bagi konsep Barat yang mempengaruhi pemikiran umat Islam. Sikap seperti ini merupakan dampak psikologis dari pengalaman masa lalu sebagian kalangan umat Islam terhadap Barat. Tegasnya, reaksi negatif tersebut sebagai ungkapan dari penolakan secara radikal terhadap kolonialisme Eropa, dan pembelaan terhadap Islam dalam upaya mengurangi ketergantungan umat Islam terhadap Negara-negara Barat.[4]
            Peristiwa-peristiwa kekerasan, penindasan, pemojokan serta ketidakadilan negara-negara Barat dan Amerika Serikat terhadap negara-negara Muslim yang seringkali terjadi, bahkan hingga sekarang seperti yang menimpa Palestina, Irak, Libya dan Afganistan, menjadi referensi bagi sebagian kalangan umat Islam untuk menolak keberadaan sistem demokrasi.
Wawasan Tentang Demokrasi
            Demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat, dan kratos/kratein yang artinya kekuasaan. Maka demokrasi dapat diartikan “rakyat berkuasa” atau government of rule by people”.[5] Dengan demikian, demokrasi berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat; dengan menjalankan peraturan yang dibuat sendiri oleh rakyat.
            Lahirnya demokrasi bermula dari adanya para penguasa di Eropa (abad pertengahan) yang beranggapan penguasa adalah wakil Tuhan di bumi dan berhak memerintah rakyat berdasarkan kekuasaan Tuhan. Mereka beranggapan bahwa Tuhan telah memberi kewenangan kepada mereka membuat hukum dan menerapkannya. Dengan dasar inilah mereka menzhalimi dan menguasai rakyat, sebagaimana pemilik budak menguasai budaknya. Lalu timbullah pergolakan antara penguasa Eropa dengan rakyatnya.
            Para filosof dan pemikir mulai membahas masalah pemerintahan serta menyusun konsep sistem pemerintahan rakyat, yaitu sistem demokrasi di mana rakyat menjadi sumber kekuasaan dalam sistem tersebut. Penguasa mengambil sumber kekuasaannya dari rakyat yang menjadi pemilik kedaulatan. Rakyat adalah ibarat pemilik budak yang berhak membuat peraturan yang akan mereka terapkan, serta menjalankannya sesuai dengan keinginannya. Rakyat berhak pula mengangkat penguasa untuk memerintah rakyat, karena posisinya sebagai wakil rakyat dengan peraturan yang dibuat oleh rakyat. Oleh karena itu, sumber kemunculan sistem demokrasi seluruhnya adalah manusia, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan wahyu atau agama.[6]
            Salah satu sifat demokrasi adalah kemampuannya untuk menghilangkan bentuk-bentuk kekuasaan yang absolut, karena paham absolutism menyebabkan kediktatoran. Untuk mengatasi hal tersebut, maka lahirlah konsep Trias Politika yang dicetuskan oleh seorang filosof dari Prancis, Montesquieu. Konsep inilah yang disebut-sebut sebagai ukuran demokratis tidaknya suatu negara.
            Menurut Trias Politika, kekuasaan negara terdiri dari tiga macam: pertama, kekuasaan legislatif (yang membuat undang-undang); kedua, kekuasaan eksekutif (yang melaksanakan undang-undang); ketiga, kekuasaan yudikatif (yang mengadili atas pelanggaran undang-undang).
            Konsep Trias Politika merupakan ide pokok dalam demokrasi Barat yang mulai berkembang di Eropa antara abad ke-17 sampai dengan abad ke-18 M. Konsep tersebut untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1989-1755). Pembagian kekuasaan menurut Trias Politika menggambarkan bahwa rakyatlah yang menjadi sumber kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan demikian, rakyatlah yang menetapkan peraturan dan undang-undang, menentukan para hakim serta mengangkat para penguasa. Dari sini tampak jelas bahwa konsep Trias Politika bertujuan untuk memelihara kebebasan politik warga negara yang hilang karena perilaku penguasa yang bertindak sewenang-wenang. Maka kebebasan menjadi prinsip yang harus diwujudkan oleh demokrasi bagi setiap individu rakyat, yaitu: kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan dan kebebasan bertingkah laku.
Problematika Demokrasi: Analisis Teks al-Qur’an
            Demokrasi adalah istilah Barat yang digunakan untuk menunjukkan pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Dalam hal ini, rakyat dianggap penguasa mutlak dan pemilik kedaulatan yang berhak mengatur urusannya sendiri. Rakyat tidak bertanggungjawab kepada kekuasaan siapa pun, selain kekuasaan rakyat. Rakyat berhak membuat peraturan dan undang-undang sendiri, karena mereka adalah pemilik kedaulatan melalui para wakil rakyat yang mereka pilih. Rakyat berhak pula menerapkan peraturan dan undang-undang yang telah mereka buat melalui para penguasa dan hakim yang mereka pilih, dan keduanya mengambil alih kekuasaan dari rakyat, karena rakyat adalah sumber kekuasaan.
            Agar rakyat dapat menjadi penguasa bagi dirinya sendiri serta dapat melaksanakan kedaulatan dan menjalankan kehendaknya sendiri secara sempurna, baik dalam pembuatan undang-undang, peraturan maupun pemilihan penguasa tanpa disertai tekanan atau paksaan, maka kebebasan individu menjadi prinsip yang harus diwujudkan oleh demokrasi bagi setiap individu rakyat. Dengan demikian, rakyat dapat mewujudkan kedaulatannya dan melaksanakan kehendaknya sendiri sebebas-bebasnya tanpa tekanan atau paksaan.
            Demokrasi berlandaskan pada dua ide, yaitu kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat sebagai sumber kekuasaan. Kedua ide tersebut dicetuskan oleh para filosof dan pemikir di Eropa ketika mereka melawan para kaisar dan raja untuk menghapuskan ide hak ketuhanan atas rakyat, dan hanya merekalah yang berhak membuat peraturan serta menyelenggarakan pemerintahan dan peradilan. Raja adalah negara.
            Sementara itu, rakyat dianggap sebagai pihak yang harus diatur, dan dianggap tidak memiliki hak dalam pembuatan peraturan, kekuasaan, peradilan, atau hak dalam apapun juga. Rakyat berkedudukan sebagai budak yang tidak memiliki pendapat serta kehendak, dan hanya berkewajiban untuk taat saja kepada penguasa ketika melaksanakan perintah.
            Demokrasi adalah sistem pemerintahan berdasarkan suara mayoritas. Anggota-anggota lembaga legislatif dipilih atas dasar suara mayoritas pemilih dari kalangan rakyat. Oleh karena itu, suara bulat (mayoritas) adalah ciri yang menonjol dalam sistem demokrasi. Pendapat mayoritas menurut demokrasi merupakan tolok ukur hakiki yang akan dapat mengungkapkan pendapat rakyat yang sebenarnya.
            Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan:
1. Demokrasi adalah buatan akal manusia, bukan berasal dari Allah SWT. Karenanya, demokrasi tidak bersandar kepada wahyu dan tidak memiliki hubungan secara doktrinal dengan Islam.
2. Demokrasi berlandaskan dua ide, yaitu: kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat sebagai sumber kekuasaan. Dalam Islam kedaulatan adalah pemilik syara’, bukan milik rakyat. Sebagaimana al-Qur’an menegaskan:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS al-Nisa’/4:59).[7]
3. Demokrasi adalah sistem pemerintahan mayoritas. Pemilihan penguasa dan anggota dewan perwakilatn diselenggarakan berdasarkan suara mayoritas pemilih. Semua keputusan dalam lembaga-lembaga tersebut diambil atas dasar pendapat mayoritas. Suara mayoritas dalam Islam berbeda dengan dominasi mayoritas atau minoritas. Di dalam Islam, suara mayoritas diambil untuk masalah-masalah yang belum dijelaskan dalam al-Qur’an dan menyangkut urusan yang memerlukan langkah segera. Misalnya Rasulullah saw bermusyawarah tentang strategi dalam menghadapi musuh pada perang uhud. Beliau menetapkan kebijakannya atas dasar suara terbanyak (mayoritas). Karena itu, suara mayoritas tidak ada hubungannya dengan halal haram yang sudah qath’i (jelas) diungkapkan al-Qur’an dan Sunnah. Berbeda dalam system demokrasi Barat, sesuatu yang sudah jelas haram (seperti khamr), bisa berubah menjadi halal karena suara mayoritas menginginkannya. Sebagaimana Amerika Serikat mencabut kembali Undang-undang Anti Minuman Keras atau The Prohibition Law of America, karena rakyat Amerika telah terlanjur gandrung terhadap minuman keras.[8]
4. Demokrasi menyatakan adanya empat macam kebebasan:
- Kebebasan beragama (Freedom of Religion);
- Kebebasan berpendapat (Freedom of Speech);
- Kebebasan kepemilikan (Freedom of Ownership);
- Kebebasan bertingkah laku (Personal Freedom).
            Kebebasan-kebebasan tersebut diabsahkan dalam Islam selagi tidak melampaui batas, yakni selaras dengan nilai-nilai etik yang dianut al-Qur’an dan Sunnah. Maka kebebasan tanpa batas yang menuruti keinginan individu atau masyarakat tertentu, jelas bertentangan dengan Islam.
            Dengan agenda peradaban global, demokrasi ternyata menjadi sosok yang aneh. Antara epistemologi (landasan), ontologi (infrastruktur) dan aksiologi (manfaat/kegunaan), seolah tidak berkesesuaian dengan kenyataan. Demokrasi sudah diplintir menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hegemoni kekuasaan global. Akhirnya, yang menjadi kemudian adalah manipulasi demokrasi yang diperalatnya sebagai kedok neo-kolonialisme. Negara-negara Barat menggunakan demokrasi sebagai alat untuk menekan negara-negara berkembang, terutama negara Islam untuk tunduk kepada keinginannya. Setidaknya, di balik hegemoni ini terdapat kepentingan ekonomis untuk menguasai pasar global seluas-luasnya termasuk pasar negara-negara berkembang.
            Pada tahun 1949 UNESCO menyatakan, “mungkin untuk kali pertama dalam sejarah, demokrasi disebut sebagai nama yang paling baik  dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh”.[9] Tidak hanya pemerintah, lembaga-lembaga swasta pun turut andil dalam menyebarkan opini global tentang nilai-nilai demokrasi universal.
            Keberadaan negara-negara Islam di dunia saat ini menunjukkan fakta, bahwa model dan sistemnya mayoritas bukan demokrasi. Berdasarkan rating indeks negara demokratis yang dibuat Freedom House di Amerika Serikat untuk tahun 1997/1998, ternyata dari 48 negara-negara Islam, hanya 8,7 persen yang digolongkan sebagai negara demokratis, 30 persen semi demokratis, dan sebagian besarnya (60,9 persen) digolongkan sebagai negara otoriter. Sedangkan negara-negara non muslim, 23,3 persen otoriter, 30,1 persen semi demokratis, dan 46,6 persen demokratis.[10]
            Sebagai sistem negara, demokrasi tidak bisa dipungkiri keberadaannya, apalagi untuk menutup mata terhadap realitas tersebut. Kita tinggal memilih, demokrasi seperti apa yang hendak diterapkan. Karena itu, demokrasi bisa diambil sebagai sebuah sistem politik utuh dengan segala kelebihan dan kekurangannya, namun hanya sebatas tataran pranata sosial politik saja. Dengan kata lain, yang paling urgen dikedepankan adalah “nilai-nilai universal” yang mencakup al-‘adalah (keadilan), al-musawah (persamaan) dan syura’ (musyawarah). Ketiga nilai tersebut merupakan bagian dari pesan-pesan moral yang diungkapkan al-Qur’an dan Sunnah, yang kemudian dituangkan oleh Rasulullah saw dalam dokumen tertulis, yaitu Piagam Madinah sebagai pijakan prinsipal di dalam mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara.
            Sistem demokrasi memiliki sisi positif di samping negatif. Di antara sisi positifnya adalah kedaulatan rakyat, di mana rakyat mempunyai hak dan kewajiban yang berkaitan dengan pemilihan majelis perwakilan, memilih, mengontrol dan atau memecatnya. Dari sisi ini, demokrasi tidak bertentangan dengan Islam, karena Islam selalu memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada manusia dalam segala hal untuk menentukan sesuatu, bukan saja memilih pemimpin, tetapi juga dalam memilih keyakinan dan agama. Menyangkut perihal kebebasan memilih agama atau keyakinan seseorang, al-Qur’an menegaskan:
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 `yJsù öàÿõ3tƒ ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãƒur «!$$Î/ Ïs)sù y7|¡ôJtGó$# Íouróãèø9$$Î/ 4s+øOâqø9$# Ÿw tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ììÏÿxœ îLìÎ=tæ ÇËÎÏÈ  


Tidak ada paksaan untuk memeluk agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barangsiapa ingkar kepada Thaghut[11] dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha mengetahui ”. (QS al-Baqarah/2:256).
            Sedangkan sisi negatif dari demokrasi yaitu “demokrasi Barat” yang menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan dengan dalih kedaulatan rakyat, sehingga tampak corak kemunafikan dari konsep yang sebetulnya demokratis, namun realitasnya mempraktikkan nilai-nilai kediktatoran dan otoritarian. Hal ini jelas bertentangan dengan Islam.
            Pemahaman terhadap demokrasi dengan makna kedaulatan di tangan rakyat dalam sistem pemerintahan Barat, sering ditemukan kerancuan dalam penerapannya. Mereka menyatakan melalui kampanyenya, bahwa pemerintahan demokratik adalah pemerintah yang terdiri dari orang-orang yang dipilih rakyat secara bebas, dan atas kehendak murni mereka menjadi pemimpin yang melaksanakan aspirasi rakyat. Tetapi dalam implementasinya sangat berbeda. Para penganut sistem demokrasi tersebut tidak segan-segan menggunakan kekuatan militer membumihanguskan kota-kota dan desa-desa serta membunuh penduduknya, dengan alasan bahwa penduduk itu menentang demokrasi. Contoh kongkret yang dapat ditemui, yaitu kebijakan pemerintah Amerika Serikat di bawah George W. Bush yang menghancurkan Irak, rezim Saddam Husein, karena dipandang tidak demokratis. Kekuatan militer AS pun seringkali intervensi terhadap keberadaan pemerintah negara lain yang cenderung menghalalkan segala cara, sehingga korban-korban dari kalangan sipil yang tidak berdosa terus berjatuhan. Dalam konteks ini, Amerika Serikat yang mengklaim sebagai pelopor demokrasi, pada kenyataannya seringkali menampilkan tindakan-tindakan kekerasan militeristik dengan kedok “menegakkan demokrasi”.
            Islam menunjukkan aturan untuk memberantas nilai-nilai negatif tersebut dengan mengemukakan konsep[12] musyawarah dalam segala persoalan, seperti disebutkan dalam firman Allah:

tûïÏ%©!$#ur (#qç/$yftGó$# öNÍkÍh5tÏ9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/ $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÑÈ  
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka; dan menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”. (QS al-Syura/42:38).
            Sistem musyawarah atau syura pada dasarnya adalah menghormati aspirasi rakyat dan kedaulatannya, yaitu memilih wakil-wakil mereka. Cara ini baru diadopsi berbagai bangsa setelah melalui pengalaman berabad-abad lamanya. Konsep musyawarah yang berlandaskan ayat-ayat al-Qur’an tersebut, telah dilaksanakan Rasulullah saw, yang sekaligus merupakan suatu teladan yang diajarkan kepada para sahabat dan menjadi latihan untuk dibudayakan dalam seluruh aspek kehidupan.
            Ayat-ayat al-Qur’an tidak menyebutkan bentuk musyawarah, baik menyangkut batasan, ruang lingkup, maupun etikanya. Akan tetapi perintah bermusyawarah itu hanya digambarkan secara umum. Hal ini menunjukkan, bahwa musyawarah merupakan sesuatu yang bisa berkembang sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman, situasi serta kondisi. Rasulullah saw sendiri tidak memberi petunjuk tegas atau penjelasan secara rinci seputar pola dan tata cara bermusyawarah. Ini dapat dipahami bahwa al-Qur’an memerintahkan agar permasalahan umat dibicarakan bersama, sementara jika Rasul atau bersama para sahabat menetapkan sesuatu, hal tersebut berlaku untuk masa beliau saja. Rasulullah saw telah memberi kebebasan kepada umatnya agar mereka mengatur sendiri urusan duniawi, dengan sabdanya: “Kalian lebih mengerti urusan dunia kalian”.[13]
            Islam menganggap manusia sebagai makhluk yang secara fundamental bersifat positif dan optimis, sementara pada saat yang sama mempunyai keterbatasan-keterbatasan yang potensial. Al-Qur’an dan Sunnah tidak menjelaskan bagaimana implementasi tuntunannya dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Untuk persoalan-persoalan yang rinci dan praktis, manusia diberi kebebasan melakukan ijtihad. Dalam mekanisme sosial-politik, ijtihad menghasilkan demokrasi.
Substansi Demokrasi: Perspektif Piagam Madinah
            Di dalam al-Qur’an dan Sunnah, terdapat sejumlah prinsip dasar yang sebanding dengan prinsip-prinsip demokrasi, antara lain: prinsip keadilan (al-‘adalah), musyawarah (syura) dan persamaan atau egaliter (al-musawah). Pada praktiknya, prinsip-prinsip tersebut menemukan bentuknya yang paling kongkret dan mungkin juga paling baik di masa Rasulullah saw periode Madinah.[14] Oleh banyak pihak, Piagam Madinah (mitsaq Madinah) dianggap sebagai ekspresi perundang-undangan demokratis yang didasarkan pada prinsip-prinsip di atas. Lahirnya Piagam Madinah berdasarkan konsensus antara Rasulullah saw dengan berbagai suku dan kelompok, yang kemudian dikenal dengan Sahifah, yakni suatu undang-undang dasar yang mengikat anggota masyarakat Madinah dengan perjanjian. Karenanya, masyarakat Madinah sering disebut ‘masyarakat Sahifah’.[15]
            Dari sini tergambar bahwa di dalam Piagam Madinah termuat prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah kenegaraan serta nilai-nilai kemanusiaan yang sebelumnya tidak pernah dikenal umat manusia.[16] Tegasnya, Piagam Madinah merupakan basic political principles (prinsip-prinsip dasar politik) dalam menghadapi kemajemukan masyarakat Madinah.[17] Dengan demikian, Piagam Madinah yang dianggap sebagai common platform kehidupan sosial politik komunitas Madinah waktu itu, dapat dinilai sebagai dasar yang relatif demokratis.
            Pembentukan masyarakat politik di bawah Piagam Madinah adalah ide pokok Rasulullah saw dalam rangka mengimplementasikan tatanan sosial-politik yang mengenal pendelegasian wewenang, yaitu adanya tatanan sosial dan politik yang tidak diperintah oleh kemauan pribadi, melainkan secara bersama-sama, tidak oleh prinsip-prinsip ad hoc[18] yang dapat berubah-ubah sejalan dengan kehendak pemimpin. Namun di sini diperintah oleh prinsip-prinsip yang dilembagakan dalam dokumen konsensus dasar semua anggota masyarakat, yaitu wujud konstitusi.
            Heterogenitas masyarakat Madinah waktu itu (ras, suku dan agama) dipersatukan di bawah kepemimpinan Rasulullah saw, dan itulah yang dinamakan ummah. Memang konotasi kata ummah sering dinisbatkan kepada komunitas muslim, tetapi dalam konteks ini istilah ummah lebih bersifat umum dan berlaku bagi sebuah komunitas tanpa dibedakan dengan nama agama. Menurut Barakat Ahmad, “… In the theory the use of the term ummah during the major portion of the Apostle’s career was not restricted to muslims alone” (Secara teoretis, penggunaan istilah ummah adalah selama karir kerasulan dan tidak terbatas pada komunitas muslim saja).[19]
            Karenanya, kata ummah dalam Piagam Madinah dapat diinterpretasikan sebagai “negara” dengan mengacu kepada QS Ali ‘Imran/3:104 dan 158. Dalam ayat tersebut ummah identik dengan masyarakat yang mengemban suatu fungsi tertentu, yaitu menyelenggarakan keumatan, dengan menegakkan yang ma’ruf (adil; baik) dan mencegah yang mungkar (zhalim; tiran). Di samping itu juga harus menyelenggarakan kepentingan umum melalui jalan musyawarah. Dengan demikian, ummah yang diekspresikan dalam realitas sejarah khususnya pada periode Madinah adalah ummatan wahidah (kesatuan masyarakat). Maka masyarakat Madinah, walaupun beragam dengan segala hal, namun mereka adalah umat yang satu. Orang-orang Yahudi menjadi satu ummah dengan orang-orang Islam di bawah Piagam Madinah.
            Rasulullah saw telah menyusun suatu persetujuan untuk mendapatkan ketetapan-ketetapan yang disepakati bersama, bukan mendirikan sebuah negara teologis. Dalam hal ini semua kelompok agama dan kelompok suku diberikan otonomi untuk memelihara tradisi serta kebiasaan mereka masing-masing. Dokumen Piagam Madinah telah memberikan dua landasan. Pertama, menjamin otonomi bagi kelompok yang beragam, kebebasan untuk memeluk agama dan melaksanakan adat istiadat, tradisi, serta persamaan hak bagi semua orang. Kedua, menekankan pada sisi demokrasi dan consensus, bukan pada pemaksaan kehendak.
            Sebagai kepala negara, Rasulullah saw senantiasa berpegang pada prinsip musyawarah sebagaimana telah digariskan dalam al-Qur’an.[20] Setiap keputusan yang beliau tetapkan selalu dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan para sahabat. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw tidak bertindak otoriter dalam melaksanakan politik pemerintahan.
            Musyawarah dapat diartikan sebagai forum tukar-menukar pikiran, gagasan ataupun ide, termasuk saran-saran yang diajukan dalam memecahkan suatu masalah sebelum tiba pada pengambilan keputusan. Dilihat dari sudut kenegaraan, maka musyawarah adalah suatu prinsip konstitusional[21] yang wajib dilaksanakan dalam pemerintahan dengan tujuan untuk mencegah lahirnya keputusan yang merugikan kepentingan umum atau rakyat. Sebagai suatu prinsip konstitusional, musyawarah berfungsi sebagai “rem” atau pencegah kekuasaan yang absolut dari seorang penguasa atau kepala negara.[22]
            Suatu musyawarah dapat diakhiri dengan kebulatan pendapat atau kesepakatan bersama (konsensus) yang lazim disebut dalam hukum Islam sebagai ijma’, dan dapat pula diambil suatu keputusan yang didasarkan pada suara terbanyak sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw ketika menghadapi persoalan tentang serangan orang-orang Quraisy Mekkah yang sedang mengepung Madinah (Perang Uhud). Ada dua pilihan, menghadapi musuh secara ofensif atau defensif. Secara pribadi Rasulullah saw memilih pilihan yang kedua, yaitu bertahan di kota Madinah. Namun suara terbanyak dari para sahabat menginginkan supaya pasukan Madinah menyerang musuh di luar Madinah, yaitu Bukit Uhud. Akhirnya keputusan diambil berdasarkan suaru terbanyak.[23]
            Meskipun demikian, musyawarah berbeda dengan demokrasi liberal yang berpegang dengan rumus “setengah plus satu”, atau suara mayoritas yang lebih dari separo yang berakhir dengan kekalahan suara bagi suatu pihak, dan kemenangan bagi pihak lain. Dalam musyawarah yang dipentingkan adalah jiwa persaudaraan, sehingga yang menjadi tujuan bukan mencapai kemenangan untuk suatu pihak atau golongan, tetapi bagi kepentingan serta kemaslahatan umum dan rakyat.
            Sedangkan dalam menjalani kehidupan sosial yang majemuk di Madinah, Rasulullah saw dan umat Islam mengimplementasikan tiga prinsip dasar yang selaras dengan petunjuk al-Qur’an. Pertama, prinsip keadilan, yaitu suatu pegangan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan tempatnya, obyektif dan tidak berat sebelah. Di bawah pimpinan Rasulullah saw, umat Islam selalu merealisasikan hubungan dengan masyarakat non muslim tanpa melihat label agama, sehingga berbagai kasus yang terjadi senantiasa ditangani dengan hukum keadilan. Misalnya, kasus pencurian yang dilakukan Fatimah binti Abi al-Asad (seorang anak pembesar) dari kepala suku, maka demi keadilan Rasulullah saw menetapkan hukuman sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya. Hal ini dipertegas al-Qur’an, bahwa menegakkan keadilan tidak hanya berlaku untuk sesama muslim saja, melainkan juga terhadap non muslim yang tidak memusuhi serta memerangi Islam sebagai agama.[24]
            Kedua, prinsip egalitarian, yaitu persamaan hak di antara masyarakat yang beragama Islam (muslim) dan non muslim di dalam kehidupan sosial. Prinsip persamaan dalam Islam dapat dipahami antara lain dari al-Qur’an:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ  
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari jenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa serta bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal”. (QS al-Hujurat/49:13).
            Ayat tersebut menggambarkan bahwa dalam Islam manusia memiliki kedudukan yang sama. Inilah yang disebut prinsip persamaan sebagai “soko guru dari struktur sosial Islam”.[25] Rasulullah saw juga menegaskan tentang prinsip persamaan. Ada dua sabda beliau yang perlu diperhatikan dalam konteks ini. Pertama, ketika Rasul menunaikan haji pada tahun 10 H (haj al-wada’), beliau menyampaikan pidato perpisahan sebagai berikut:
“Sesungguhnya leluhurmu adalah satu yaitu Adam. Karena itu tidak ada perbedaan antara orang Arab dan bukan Arab, antar orang yang berkulit merah dengan yang berkulit hitam, kecuali karena takwanya kepada Allah”. Kedua, penegasan yang berbunyi: “Sesungguhnya manusia itu sama rata seperti gerigi sisir”.[26]
            Kedua hadits tersebut menggambarkan bahwa dalam Islam semua manusia adalah sama, dan tidak ada perbedaan atas dasar apapun kecuali takwanya kepada Allah SWT. Prinsip persamaan ini mencakup dalam segala bidang kehidupan: hukum, politik, ekonomi, sosial dan lain-lain. Menyangkut persamaan di bidang hukum, semua orang mendapat jaminan perlakuan dan perlindungan hukum yang sama tanpa memandang kedudukannya, apakah ia dari kalangan rakyat biasa atau dari kelompok elit. Hal ini dipertegas Rasulullah saw dalam sebuah hadits:
Demi Allah, seandainya Fatimah putriku mencuri, tetap akan kupotong tangannya”. (Riwayat Abu Daud dan Nasa’i).
            Salah satu contoh kongkret penerapan prinsip persamaan di masa Rasulullah saw yaitu ketika seorang Yahudi menagih hutang kepada Rasul dengan mengeluarkan perkataan yang tidak etis di hadapan Kepala Negara Madinah. Para sahabat yang menyaksikan sudah tidak dapat menahan emosi mereka, tetapi Rasulullah saw bersabda: “Biarkanlah ia bicara, karena ia berhak untuk itu”.[27] Peristiwa ini menunjukkan bahwa Rasul sebagai Kepala Negara Madinah memberikan persamaan hak kepada orang Yahudi yang notabenenya adalah warga negara. Dengan kata lain, setiap warga negara memiliki kewajiban-kewajiban dan hak-hak yang sama. Penyelenggara negara dilarang memperlakukan mereka dengan secara diskriminatif.
            Ketiga, prinsip kebebasan. Prinsip ini sangat sentral di dalam ajaran Islam, sebab secara esensial, Islam mengandung arti liberalition (bebas), berarti bebas dari kenistaan, kejahatan, kezhaliman dan pemaksaan. Di masa Rasulullah saw, kaum Yahudi dan Paganis diberi kebebasan untuk memeluk agama serta kepercayaannya masing-masing. Hal ini selaras dengan pernyataan al-Qur’an:
Tidak ada paksaan memeluk agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat …” (QS al-Baqarah/2:256).
            Kebebasan memeluk agama, tertuang dalam rumusan Piagam Madinah: “Bagi orang Yahudi, agama mereka dan bagi kaum muslimin agama mereka pula”.[28] Dari sini terlihat jelas, bahwa Piagam Madinah telah memberikan landasan yang menjamin otonomi bagi kelompok yang beragama, yaitu kebebasan untuk memeluk serta melaksanakan suatu agama. Di samping itu, prinsip kebebasan ini juga menyangkut kebebasan berpendapat, yakni ketika mengajukan usul atau mengeluarkan argumentasinya di kala musyawarah.
            Substansi Piagam Madinah menegaskan suatu cita-cita terciptanya tatanan masyarakat zaman Rasulullah saw yang Islami dan sekaligus dapat menjadi tempat berlindung bagi umat lain dari berbagai suku dan agama. Piagam tersebut menjadi contoh suatu sistem dan konstitusi yang mewadahi masyarakat yang plural. Sangat beralasan bila Montgomery Watt dan Robert N. Bellah memandang Piagam Madinah yang disusun Rasulullah saw itu sebagai konstitusi termodern di zamannya.
            Setidaknya ada dua nilai penting yang dapat diambil dari Piagam Madinah menyangkut prinsip demokrasi, dan masih relevan hingga saat ini. Pertama, peletakan prinsip integrasi social dan politik dalam sebuah Negara Madinah. Ini merupakan nilai penting, mengingat masyarakat Madinah saat itu bersifat majemuk. Kedua, dasar penghormatan yang kokoh bagi sebuah kehidupan yang toleran dengan menjamin hak-hak warga negara non muslim berupa perlindungan pada kehidupan dan harta benda mereka. Inilah sumbangan terbesar Piagam Madinah yang kemudian diadopsi oleh kehidupan modern dalam wujud “hak asasi manusia” (HAM).
            Namun demikian, Piagam Madinah tidak dapat dijadikan sebagai pembenar bagi pembentukan negara Islam, sebab Rasul sendiri dalam piagam itu tidak menyebut negara yang didirikannya sebagai negara Islam. Istilah “daulah Islamiyah” baru muncul saat Islam berhadapan dengan konsep Barat yang disebut nation state. Oleh karenanya, jika hendak dijadikan model, yang dapat diambil dari Piagam Madinah adalah nilai-nilai penting yang ada di dalamnya.
Tafsir Demokrasi: Konsepsi Tokoh-Tokoh Muslim
            Di kalangan cendekiawan muslim sendiri, pergulatan demokrasi cukup hangat didiskusikan. Paling tidak, ada tiga kelompok besar yang mewakili umat Islam berkaitan dengan pandangannya terhadap demokrasi. Pertama, kelompok konservatif, yaitu yang tetap mempertahankan integrasi antara Islam dan negara, sebab menurut mereka, Islam telah lengkap mengatur sistem kemasyarakatan. Kelompok ini terdiri dari: a) tradisionalis, yakni mereka yang tetap mempertahankan tradisi praktik dan pemikiran politik Islam klasik/pertengahan, seperti Rasyid Ridha, dan b) “fundamentalis”,[29] yakni mereka yang ingin melakukan reformasi sistem sosial dengan kembali kepada ajaran Islam secara total, serta menolak sistem yang dibuat manusia, seperti: Sayyid Quthb, Abu al-A’la al-Maududi dan Hasan Turabi.[30]
            Kedua, kelompok modernis dan neo-modernis, yang berpendapat bahwa Islam mengatur masalah keduniaan (kemasyarakatan) hanya secara dasar-dasarnya saja, adapun secara teknis bisa mengadopsi sistem lain, yang dalam hal ini adalah sistem Barat yang sudah menunjukkan kelebihannya. Di antara kelompok ini adalah Muhammad Abduh, Husein Haikal dan Muhammad Assad.
            Ketiga, kelompok sekuler atau liberal, yang ingin memisahkan antara Islam dengan negara. Menurut kelompok ini, Islam tidak mengatur masalah keduniaan sebagaimana praktik kenegaraan yang terdapat di Barat. Di antara tokoh aliran ini adalah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein.[31]
            Pada umumnya kelompok pertama (konservatif) menolak sistem demokrasi, dengan alasan karena demokrasi yang mengandung pengertian kedaulatan rakyat (siyadah al-ummah), berarti meniadakan kedaulatan Tuhan.[32] Kelompok ini diprakarsai oleh Sayyid Quthb dengan mengembangkan konsep tauhid ‘hakimiyah’ yang berarti penerimaan hanya hukum-hukum Allah semata yang harus diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat dan negara.[33] Namun Yusuf Qardhawy yang sebenarnya termasuk kelompok pertama, menerima sistem demokrasi, karena substansi demokrasi sejalan dengan Islam. Beliau mengatakan, hakikat demokrasi adalah bahwa rakyat memilih orang yang akan memerintah dan menata persoalan mereka tanpa paksaan dan tidak boleh mereka dipaksa untuk menerima penguasa atau rezim yang mereka benci. Oleh karena itu, mereka diberi hak untuk mengoreksi penguasa bila ia keliru, diberi hak untuk mencabut dan menggantinya jika ia menyimpang. Adapun proses memilih penguasa, dapat dilakukan dengan berbagai bentuk dan cara praktis, seperti pemilihan umum dan referendum,[34] mendukung pihak mayoritas, menerapkan sistem multi partai, memberikan hak kepada minoritas untuk beroposisi, menjamin kebebasan pers dan kemandirian keadilan.[35]
            Sementara itu, al-Maududi mencoba menawarkan istilah “theo-democracy”, karena menurutnya, kedaulatan Tuhan maupun kedaulatan rakyat terdapat dalam negara yang mempraktikkan syariat Islam, walaupun kedaulatan rakyat ini terbatas hanya pada konteks penyelenggaraan negara serta urusan-urusan administratif dan hal-hal lain yang tidak terdapat dalam syariah.[36] Berdasarkan konsepsi tersebut, kedaulatan yang sesungguhnya berada pada Tuhan, dan negara berfungsi sebagai kendaraan politik untuk menerapkan hukum-hukum Tuhan.
            Sejalan dengan al-Maududi, Dhiyauddin Rais berpendapat bahwa di dalam Islam terdapat kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum syariah sekaligus. Oleh karena itu, seandainya dibuat istilah, sistem pemerintahan Islam dapat dikatakan sebagai sistem demokrasi humanis, universal, religius, moralis, material dan spiritual.[37]
            Sedangkan kelompok kedua (modernis/ neo-modernis), pada umumnya menerima sistem demokrasi, tetapi dengan beberapa penyesuaian. Menurut kelompok ini, secara organisatoris memang tidak ada persoalan, namun secara filosofis tentu mengandung persoalan, karena demokrasi itu didasarkan pada sekularisme, sedangkan Islam sebuah agama yang berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan. Adapun kelompok ketiga (sekuler/liberal) tidak mempunyai persoalan dengan demokrasi, sebab baik secara filosofis maupun secara organisatoris (institusional) mereka mendukung sistem tersebut.
            Secara teologis, penerimaan para intelektual muslim terhadap demokrasi didasarkan pada ajaran-ajaran al-Qur’an dan praktik historis masa Rasulullah saw serta al-Khulafa’ al-Rasyidun. Mereka menyamakan konsep demokrasi dengan konsep syura, yang terdapat dalam QS al-Syura/42:38 dan QS Ali ‘Imran/3:159.
            Hemat penulis, membicarakan demokrasi berdasarkan sudut pandang doktrinal Islam tidak akan bertemu. Namun bila dilihat secara sosio-kultural, banyak nilai-nilai demokrasi yang tercakup dalam Islam. Misalnya ajaran “hablun min Allah wa hablun min al-nas”,[38] yaitu menjalin kmomunikasi vertikal dengan Allah, dan komunikasi khorizontal dengan sesama umat manusia. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya memerintahkan umatnya untuk berhubungan dengan Tuhannya semata, melainkan harus juga mewujudkan proses kemanusiaan dengan sesamanya. Di samping itu, di dalam Islam terkandung juga tentang prinsip-prinsip persamaan, kebebasan memeluk agama, keadilan, musyawarah dan keorganisasian yang semuanya ini secara substantif mencerminkan nilai-nilai demokrasi.
Penutup
            Pada tataran etika dan teori, Islam sangat menjunjung esensi dasar demokrasi, seperti penghargaan terhadap kesederajatan manusia, kebebasan berpikir dan kemerdekaan individu. Namun demikian, semua itu dibatasi oleh norma-norma agama yang termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah. Suara demokrasi yang cenderung bebas tanpa batas serta tidak mengindahkan nilai-nilai keagamaan adalah bentuk penyelewengan dan bertentangan dengan ajaran Islam. Demokrasi bukan berarti kebebasan tanpa batas, sebab manusia dalam hidupnya dibatasi oleh ruang dan waktu. Maka konsekuensi logisnya, manusia harus berjalan sesuai dengan rambu-rambu kehidupan yang mengikat dirinya, yaitu aturan suci dari Allah dan RasulNya.
            Secara doktrinal, Islam dan demokrasi adalah dua hal yang berbeda. Namun secara substantif ada prinsip-prinsip demokrasi yang kompatibel (sesuai) dengan ajaran Islam. Prinsip keadilan dalam penegakan hukum, persamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta kebebasan berpendapat, beragama dan berkeyakinan. Prinsip-prinsip ini secara ideal tertuang dalam dokumen tertulis, yaitu Piagam Madinah.
            Rasulullah saw dalam praktik Negara Madinah menunjukkan adanya kehidupan demokratis berdasarkan aturan wahyu Ilahi. Itulah Demokrasi Transendental, yakni sebuah sistem pranata sosial politik modern dalam kehidupan bernegara yang banyak diminati banyak orang. Disebut transendental, karena kelangsungan sistem ini bukan berlandaskan kepentingan dan kekuasaan manusia semata. Semua problematika kehidupan umat manusia, tidak mungkin bisa diselesaikan dengan “kehendak” manusia sendiri. Hanya dengan nilai-nilai dan ajaran Ketuhananlah berbagai kemaslahatan manusia akan tercapai.
            Umat Islam harus menjadi makhluk yang berjalan dengan mata hati menghadap ke belakang, tetapi dengan mata fisik menghadap ke depan. Dengan cara ini umat Islam akan selalu dapat menghadirkan struktur Rasul sampai kapan pun. Sementara, fondasi dan pilar-pilar demokrasi itu pada prinsipnya telah disediakan dalam Piagam Madinah sebagaimana tercermin dalam pasal-pasalnya.
            Piagam Madinah merupakan sebuah konsensus bersama antara berbagai golongan, baik ras, suku maupun agama yang paling demokratis sepanjang sejarah. Piagam Madinah telah mewariskan kepada kita prinsip-prinsip yang kokoh dalam menegakkan masyarakat pluralistik yang harmonis. Fakta sejarah menunjukkan, Negara Madinah menjadi contoh kongkret keserasian hidup bernegara dan beragama. Dengan Piagam Madinah, Rasulullah saw telah membuktikan bahwa Islam adalah agama rahmat bagi seluruh umat manusia (rahmatan li al-‘alamin). Pesan-pesan Islam pun dapat diterima oleh semua kalangan, termasuk pemeluk Yahudi dan Nasrani, sehingga tercipta suatu tatanan yang adil serta damai.
            Negara Madinah tidak hanya membuktikan bahwa Rasulullah saw seorang negarawan, legislator, penyeru moral, pembaharu, ahli politik dan ekonomi; tetapi juga sekaligus mematahkan tuduhan Barat bahwa Islam anti demokrasi. Sebab, sebelum negara demokrasi menemukan bentuknya di Barat, Rasulullah saw justru telah meletakkan dasar-dasar demokrasi yang sanggup menjawab kebutuhan bermasyarakat dan bernegara. Sebagai sebuah produk peradaban, Piagam Madinah banyak memberi pelajaran penting bagaimana umat beragama membangun suatu tatanan masyarakat yang adil dan manusiawi, serta bagaimana umat manusia membangun sistem peradaban yang tercerahkan dan memberi manfaat bagi semua orang. Ia menjadi aturan main agar tercapai semacam etika kolektif bagi kehidupan bersama.
            Demokrasi bukanlah jaminan sukses hidup bernegara. Bahkan sebagai sebuah sistem, demokrasi memiliki tingkat relativitas keberhasilan yang cukup riskan. Andaikan kita mau belajar demokrasi dari Amerika Serikat, yang mengklaim diri sebagai kampium demokrasi, ada baiknya merenungkan perkataan Stobe Talbolt dalam bukunya, Democracy and the International Interest: “sejak terbentuknya negara federasi pada tahun 1776, AS memerlukan waktu 11 tahun untuk menyusun konstitusi; 89 tahun untuk menghapus perbudakan, 144 tahun untuk memberi hak pilih pada kaum perempuan, dan 188 tahun untuk menyusun draf konstitusi yang melindungi seluruh warganya”. Sungguh sebuah sistem demokrasi materialis yang pembentukannya butuh waktu panjang dan banyak uang.
            Adalah ironis, jika umat Islam tidak merasa bangga dengan prinsip-prinsip demokrasi yang dibangun Rasulullah saw di Madinah. Lahirnya Piagam Madinah bukanlah sebuah utopia yang artificial, atau latihan politis-teoretis. Ia telah memasuki sejarah tertulis sebagai sebuah dokumen hukum yang diterapkan secara sistematis dan kongkret dari tahun 622 hingga 632 M.

*Penulis adalah seorang agamawan dan pemenang Juara Harapan 1 lomba karya tulis ilmiah Departemen Agama 2013 




DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Masykuri, “Syura dan Demokrasi”, dalam Artani Hasbi, Musyawarah dan          Demokrasi, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, Cet. ke-1.
Ahmad, Barakat, Muhammad and The Jews, A. Re-Examination: New Delhi, 1979.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Politik Islam, Jakarta: Gramedia, 2004, Cet. ke-26.
Boisard, Marcel A., Humanisme dalam Islam, terj., Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Departemen Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999, Cet. ke-10.
El-Awa, Mohammad S., Sistem Politik dalam Pemerintahan Islam, Surabaya: Bina Ilmu,   1983.
Endra, W. Surya, Kamus Politik, Surabaya: Study Group, 1979.
Esposito, John L., dan James P. Piscatori, “Islam and Democraty”, dalam Middle East      Journal, Vol. VL nomor III, 1991.
Hadimulyo, “Fundamentalisme Islam: Istilah yang dapat menyesatkan”, Ulumul Qur’an,   3, Vol. IV, 1993.
Haikal, Muhammad Husien, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Pustaka Jaya dan            Tintamas, 1982.
Hasbi, Artani, Musyawarah dan Demokrasi, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. ke-1.
Huwaydi, Fahmi, Al-Islam wa al-Dimuqrathiyyah, Kairo: Markaz al-Ahram, 1993.
Kerr, Malcolm H., Islamic Reform: The political and Legal Theoris of Muhammad Abduh and Rashid Ridha, Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1966.
Madjid, Nurcholis, “Agama dan Negara dalam Islam Telaah atas Fiqh Siyasy Sunni       dalam Budhy Munawar-Rachman, ed., Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam            Sejarah, Jakarta: Paramadina, Cet. ke-1.
Maududi, Abu al-A’la al, Islamic Law and Constitution, Lahore: Islamic Publication Ltd.,             1960.
-----------, Khalifah dan Kerajaan, terj. Muhammad al-Baqir, Bandung: Mizan, 1984.
Merriam-Webster, A., Webster’s Ninth Collegiate Dictionary, U.S.A. Merriam-Webster     Inc., 1984.
Prasetyo, Hendro, “Pancasila as an Islamic Ideology For Indonesian Muslim”, Studia        Islamika, Vol. 1, Nomor 1, April-June, 1994.
Qardhawy, Yusuf, Dr., Min Fiqh al-Daulah Fi al-Islam, terj. Fiqih Negara, Jakarta:          Robbani Press, Cet. ke-1.
Rais, Muhammad Dhiyauddin, Al-Nazhariyyat al-Siyasiyyah al-Islamiyyah, terj. Teori        Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2000, Cet. ke-1.
Sjadzali, Munawir, H., M.A., Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1990, Cet. ke-2.
Shoelhi, Mohammad, Demokrasi Madinah: Model Demokrasi Cara Rasulullah, Jakarta:    Republika, 2003, Cet. ke-1.
Sudjana, Eggi, S.H., M.Si., Ham, Demokrasi dan Lingkungan Hidup Perspektif Islam,      Bogor: As-Syahidah, 1998, Cet. ke-1.
Yamani, Ahmad Zaki, Syariat Islam yang Abadi: Menjawab Tantangan Masa Kini,           Bandung: al-Ma’arif, 1980.
Rasjidi, H. M., Prof. Dr., Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution Tentang “Islam Ditinjau             Dari Berbagai Aspeknya”, Jakarta: Bulan Bintang, 1989, Cet. ke-3.









   






                [1] Dalam bahasa Arab, istilah agama sering disebut dengan al-Din. Secara konseptual, sesungguhnya perkataan agama dan al-din mengandung konotasi masing-masing yang berbeda. Perkataan agama yang sudah lazim digunakan dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sanskerta yang memiliki konotasi yang sangat erat dengan tradisi dalam agama Hindu dan Budha. Perkataan al-Din sebagaimana tercantum dalam QS Ali Imran/3:19 dan al-Maidah/5:3, merupakan suatu konsep yang terdiri dari dua komponen pokok pengaturan hubungan antara manusia dengan Allah, dan antara manusia dengan manusia dalam suatu masyarakat atau Negara, bahkan mungkin pula antar Negara serta antar manusia dengan lingkungan hidupnya. Menurut Prof. Dr. H. M. Rasjidi, penggunaan kata agama sebagai terjemah dari al-Din hanyalah sekedar untuk memudahkan kita berkomunikasi. Lihat M. Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution Tentang “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), Cet. ke-3, hlm. 15.
                [2] Yang dimaksud sistem di sini ialah “seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan, sehingga membentuk suatu totalitas, atau susunan yang teratur dari pandangan, teori dan metode”. Lihat Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), Cet. ke-10, hlm. 950.
                [3] Artani Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), Cet. ke-1, hlm. xxxiii-xxxiv.
                [4] John L. Esposito dan James P. Piscatori, “Islam and Democraty”, dalam  Middle East Journal, Vol. VI, Nomor III, (1991); Lihat juga Fahmi Huwaydi, Al-Islam wa al-Dimuqrathiyyah, (Kairo: Markaz al-Ahram, 1993), hlm. 153.
                [5] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Politik Islam, (Jakarta: Gramedia, 2004), Cet. ke-26, hlm. 50.
                [6] Eggi Sudjana, Ham, Demokrasi dan Lingkungan Hidup Perspektif  Islam, (Bogor:  As-Syahidah, 1998), Cet. ke-1, hlm. 45.
                [7] Perintah taat kepada Allah dan RasulNya bersifat mutlak tanpa syarat. Sedangkan taat kepada ulil amri bersifat relatif. Ditegaskan dalam sebuah hadits: “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan terhadap Allah”. Dari segi bahasa, kata uli adalah bentuk jamak dari waliy yang berarti pemilik atau yang mengurus dan menguasai. Bentuk jamak dari kata tersebut menunjukkan bahwa mereka itu banyak, sedangkan kata al-amr adalah perintah atau urusan. Dengan demikian, uli amri ialah orang-orang yang  berwenang mengurus urusan kaum muslimin. Mereka adalah orang-orang yang diandalkan dalam menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan. Ada yang berpendapat bahwa mereka adalah para penguasa/pemerintah. Ada juga yang mengatakan, mereka itu adalah ulama, dan pendapat lain menyatakan bahwa mereka adalah yang mewakili masyarakat dalam berbagai kelompok dan profesinya. Perlu dicatat, kata al-amr berbentuk ma’rifah atau definite. Ini menjadikan banyak ulama membatasi wewenang pemilik kekuasaan itu hanya pada persoalan-persoalan kemasyarakatan, bukan menyangkut akidah atau keagamaan murni. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Cet. ke-1, hlm. 460-461.
                [8] Abu al-A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Terj. Muhammad al-Baqir, (Bandung: Mizan, 1984).
                [9] Mohammad Shoelhi, Demokrasi Madinah: Model Demokrasi Cara Rasulullah, (Jakarta: Republika, 2003), Cet. ke-1, hlm. 26.
                [10] Ibid.
                [11] Yang dimaksud thaghut di sini adalah setan dan apa saja yang disembah selain Allah SWT.
                [12] Konsep ialah” rancangan, ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kongkret”. Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), Cet. ke-10, hlm. 519. Mengutip pendapat Immanuel Kant (1724-1804 M), konsep yaitu “gambaran yang bersifat umum atau abstrak dari sesuatu”. Dari definisi ini, dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud konsep adalah “esensi dari sesuatu”. Apabila dikaitkan dengan musyawarah, berarti “esensi musyawarah”.
                [13] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, (Mesir: al-Sa’ab, tth.), Jilid 3, hlm. 152.
                [14] Muhammad ibn Ishaq (704-768 M) telah merekam Piagam Madinah dalam “Sirah Rasul Allah”. Buku yang sangat berharga ini, kini tidak bisa dijumpai lagi secara utuh. Kita hanya mengetahuinya melalui buku-buku lain yang menyebutkan bahwa sumber rujukan adalah buku karya Ibn Ishaq. Piagam Madinah jauh mendahului Konstitusi Amerika Serikat (1787) yang biasanya dipandang sebagai konstitusi pertama di dunia, yang dipelopori “Declaration of Human Rights” (5 Juli 1775). Ia juga mendahului Konstitusi Prancis (1795) yang dipelopori Les droits de I’homme et du citoyem (Agustus 1789). Bahkan ia juga mendahului konvensi (konstitusi tertulis) Inggris yang disebut Magna Charta (15 Juni 1215).
                [15] Barakat Ahmad, Muhammad and The Jews, (A Re-Examination: New Delhi, 1979), hlm. 39.
                [16] Nurcholis Madjid, “Agama dan Negara dalam Islam Telaah atas Fiqh Siyasy Sunni” dalam Budhy Munawar-Rahman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1994), Cet. ke-1, hlm. 590.
                [17] Hendro Prasetyo, “Pancasila as Islamic Ideology For Indonesian Muslim”, Studia Islamika, Vol. 1, Nomor 1, (April-June, 1994), hlm. 202-203.
                [18] Ad Hoc ialah panitia penyelidik terhadap suatu bagian yang menjadi kepentingan dan tujuan akhir; format khusus yang menangani masalah-masalah dengan segera untuk dicarikan solusinya. Lihat A. Merriam-Webster, Webster’s Ninth Collegiate Dictionary, (U.S.A. Merriam-Webster Inc., 1984), hlm. 56.
                [19] Barakat Ahmad, Loc. Cit.
                [20] QS al-Syura/42:38; QS Ali ‘Imran/3:159.
                [21] Mohammad S. el-Awa, Sistem Politik dalam Pemerintahan Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hlm. 114-115. Lihat pula Malcolm H. Kerr, Islamic Reform: The Political and Legal Theoris of Muhammad Abduh and Rashid Ridha, (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1966), hlm. 134. Kerr mencatat, bahwa sekelompok muslim modern berpendapat, prinsip syura (musyawarah) merupakan bentuk asli dari perwakilan atau pemerintahan konstitusional dalam Islam.
                [22] Abu al-A’la al-Maududi, Op. Cit., hlm. 73.
                [23] Muhammad Husein Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Pustaka Jaya dan Tintamas, 1982), hlm. 313-318.
                [24] QS al-Mumtahanah/60:8-9.
                [25] Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, terj., (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 125-126.
                [26] Ahmad Zaki Yamani, Syariat Islam yang Abadi: Menjawab Tantangan Masa Kini, (Bandung: Al-Ma’arif, 1980), hlm. 75.
                [27] Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Nasai. Teks aslinya: “Da’uhu fa inna li shahib al-haqqi maqalan”.
                [28] Pasal 25 Piagam Madinah.
                [29] Istilah fundamentalis muncul pertama kali di kalangan para penganut Kristen Protestan di Amerika Serikat, sekitar tahun 1910-an. Mereka ini merupakan bagian dari fenomena response kalangan konservatif terhadap perkembangan teologi liberal-modernisme dan gejala sekularisme. Gerakan ini ditandai dengan terbitnya 12 buku kecil yang berjudul The Fundamentals: A Testimony of the truth, yang sejak saat itu jutaan eksemplar buku-buku tersebut disebarkan. Ada beberapa pokok pandangan doktrin yang terutama dalam gerakan ini, yakni: pemahaman literal mengenai ketidak-keliruan Injil, sifat Ketuhanan Kristus, kebangkitannya secara fisik, dan turunnya kembali ke dunia secara fisik pula. Semua ini menegaskan tentang penolakan mereka terhadap pemahaman para teolog modernis-liberal, yang menjelaskan pemahaman teologi mereka sesuai dengan perkembangan  ilmu pengetahuan dan zaman modern. Adapun cirri-ciri dari gerakan fundamentalisme ini terutama militansinya untuk membela dan mempertahankan keyakinan mereka. Lihat Hadimulyo, “Fundamentalisme Islam: Istilah yang dapat menyesatkan”, Ulumul Qur’an, 3, Vol. IV, 1993, hlm. 5.
                [30] Masykuri Abdillah, “Syura dan Demokrasi”, dalam Artani Hasbi, Op. Cit., hlm. xii.
                [31] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1990), Cet. ke-2, hlm. 1-2.
                [32] Masykuri Abdillah, Op. Cit., hlm. xiii.
                [33] Ibid.
                [34] Referendum ialah “laporan disertai dengan beberapa usul; pemungutan suara umum; pemilihan tertulis, W. Surya Endra, Kamus Politik, (Surabaya: Study Group, 1979), hlm. 290.
                [35] Yusuf Qardhawy, Min Fiqh al-Daulah Fi al-Islam, terj., Fiqh Negara, (Jakarta: Robbani Press, 1997), Cet. ke-1, hlm. 167.
                [36]Abu al-A’la al-Maududi, Islamic Law and Constitution, (Lahore: Islamic Publication Ltd., 1960), hlm. 147-148.
                [37] Muhammad Dhiyauddin Rais, Al-Nazhariyyat al-Siyasiyyah al-Islamiyyah, Terj., Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 312.
                [38] QS Ali ‘Imran/3:112.

0 komentar:

Posting Komentar