Rabu, 04 Februari 2015

Gula Kawung dan Pohon Avokad


Gila!!! Membaca kumpulan cerpen terbitan Surah dari Abdullah Alawi dan A. Zakky Zulhazmi dalam bingkisan buku Gula Kawung dan Pohon Avokad saya sendiri EMOSI. Pertama lama tidak mendapatkan kabar dari salah satu penulisnya (A. Zakky Zulhazmi) sudah begitu emosi karena Bung satu ini adalah salah satu kawan nongkrongku ketika menjelang senja di kampus setiap kali hari rabu. teringat emosi saya ketika lagi asik diskusi di kelompokku yang selalu mengulas tentang kebudayaan dan hal ilmiah lainnya, bung satu ini enak cuek diskusi sendiri dengan kelompok Senja-Kala(itu). Tapi emosi yang saya luapkan bukan amarah tapi kebahagiaan karena fenomena seperti itu sangat romantis antara Kebudayaan dan Sastra duduk beriringan tapi beda sudut ketika di pandang dari jarak sekian meter tempat keberadaannya antara garis timur dan garis barat. Kedua emosiku membuncah ketika ada kabar lagi Buku barunya, Brengsek!!! Tapi aku senang ternyata Bung satu ini jalannya masih seirama dahulu tetap berada di garis Sastranya. Dan sebelum mengulas cerpen-cerpennya satu persatu pertama-tama saya ucapka Selamat Bung dan MERDEKA!!!

Senin, 01 Desember 2014

Besar dan Kecil

Sumber Gambar: Google
 
Ef Suma

Kecil terinjak yang besar , itu wajar
Tapi bukan fungsinya
Besar menginjak yang kecil
Tapi bukan tugasnya
Kekuatan adalah kuasa
Tapi bukan tanpa kelemahan
Kekuasaan adalah dua permainan
Membunuh atau di bunuh
Kehancuran adalah nasib
Kalau tidak pandai bersih-bersih
Kalau tidak pandai bagi-bagi
Dan kalau…kalau…kalau…
Tidak berpihak

Salam
Jakarta 07 Februari 2014

Pahit Kopiku


Sumber Gambar: Google

Pahit kopiku sayang
Karena aku menukan aroma manis yang kelak kita nikmati
Dengan kehangatan waktu yang selalu ditunggu untuk dinikmati
Kita berdua akan manis ketika pahit sudah biasa dinikmati
Engkau mesti tahu bagaimana kopi menghabiskan waktuku?
Menyulam segala kehidupan yang kelak pasti indah
Engkau tahu bagaimana kopi mempertemukan kita?
Dalam satu niat untuk menjalani kebahagiaan cinta
Engkau tahu bagaimana kopi mengenalkan kita pada kehidupan yang luas?
Karena selalu ada pertemuan dan pertemuan
Engkau tahu kopiku pahit sayang?
Bukan lantara menolak manis
Karena menurutku kita akan manemukan manis ketika pahit pernah kita nikmati
Jangan bosan sayang kalau aku terus menjawab dengan bahasa kopi
Kalau boleh aku mengibaratkan cinta dengan gelas kopi
Antara aku dan kamu telah menjadi kopi, pasti kamu tolak
Tapi aku akan memaksamu agar kita menjadi kopi
untuk keindahan pertemuan yang harmonis
untuk hilangnya perselisihan
untuk manisnya persahabatan karena kebersamaan ngumpul sambil ngopi
untuk perubahan karena merencanakannya menghirup aroma kopi
untuk cinta karena keharmonisan antara pahit dan manis bertemu
apa masih tidak mau hubungan kita disamakan dengan kopi?
pasti tidak!
kamu akan berusaha menyamakan dengan taman dan bunga-bunganya
atau dengan keromantisan Romeo dan Juliet
atau kamu akan memaksakan hubungan kita seperti sang pangeran dan putrinya
apa tidak cukup dengan kopi saja?
toh sama-sama menghasilkan keindahan
bahkan menurutku itu sangat romantis
dari apa yang pernah kamu ibaratan
bahkan lebih terdengar perjuangan
engkau tahu rapat perubahan anak-anak muda pasti ada gelas kopi?
yang saling berdenting, yang saling terisi kopi
mereka saling berusaha menemukan pencerahan setelah menikmati kopi yang ada
apa tidak bagitu revolusinya hubungan kita?
apa engkau tahu ada bahasa revolusi datang dari warung-warung kopi?
kalau sudah begitu apa masih belum cukup di bilang romantis revolusioner?

karena hubungan kita adalah segelas kopi
mau kan sayang?

Salam Ef Suma
Jakarta, 16.11.2014

Sabtu, 04 Oktober 2014

Berita Sastra: Pagelaran “Sastra Menolak Terorisme” Gedung Arsip Nasional, 22 September 2014




Senin malam, (22/08/2014) BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) bekerjasama dengan Lembaga Daulat Bangsa dan juga Komunitas Sastra Indonesia melaksanakan pagelaran “Sastra Menolak Terorisme”. Acara ini berlangsung di Gedung Arsip Nasional, Jalan Gajah Mada 111, Jakarta Barat, menampilkan antara lain pembacaan puisi presiden penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri, wayang kulit Betawi, dengan lakon Gatotkaca Jadi Raja dengan dalang Sukarlana, musikalisasi puisi Omah Suwung, monolog dan peluncuran buku antologi puisi menolak terorisme“Pengantin Langit”.
 
Acara pada malam itu berlangsung pada pukul 18.00 hingga 23.00 diawali dengan makan malam yang diiringi gemulainya musik gamelan. Pembukaan acara dibuka dengan music tradisional dan pertunjukan Gunungan. Setelahnya, terdapat pula musikalisasi puisi Omah Suwung (mantra tolak bala) dan pembacaan satu puisi oleh Penyair Abdullah Wong yang berjudul Teroris Hati.

Tujuan berlangsungnya acara pagelaran sastra dan kesenian ini seperti yang ada di press release, ialah memomentumkan bangkitnya para seniman dan komunitas sastrawan maupun penyair juga seluruh komponen masyarakat yang hadir untuk turut serta dalam pencegahan terorisme.

Menurut Ketua Lembaga Daulat Bangsa, Soffa Ihsan, terorisme hingga kini terus menjadi ancaman bagi masyarakat, negara dan bangsa. Paras gerakan terorisme bertumbuh dan bermetamorfosa dari mulai jaringan besar hingga dalam wujudnya yang bersifat individual. Berbagai cara dilakukan dalam aksi terorisme seperti bom bunuh diri, penembakan, penculikan, dan bentuk kekerasan lainnya.

“Melalui sastra melesak jiwa-jiwa kepedulian yang bermata air dari kegalauan, keperihan dan kepedihan. Ia menjadi pengembaraan kata-kata yang melampaui realitas baku, kaku, dan segala rupa verbalitas,” ujarnya.

Sambil diselingi pementasan wayang kulit Betawi dengan lakon Gatotkaca Jadi Raja dengan dalang Sukarlana yang menyelipkan pesan moral deradikalisasi beragama. Acara semakin seru dengan masuknya Presiden Penyair Indonesia, Sutarji Calzoum Bachri yang mengguncang panggung dengan tiupan harmonikanya sambil membacakan puisi ‘Aku’ Chairil Anwar. Riuh tepuk tangan hadirin kembali pecah kala Sutarji membacakan karya puisinya yang berjudul ‘Jembatan’ dengan pembawaan gaya nyentrik khasnya.

 
Sebagai penutup, Sutarji berorasi mengenai bahayanya terorisme bagi kedamaian di negeri ini. Namun, terorisme menurut Sutarji bukan hanya terror bom dan serangan-serangan kelompok ekstrimis golongan agama tertentu. “Terorisme adalah penindasan-penindasan elite terhadap rakyat, pembiaran-pembiaran kesengsaraan, kelaparan, dan kemiskinan terhadap rakyat. Hal tersebut juga terorisme”, ujarnya.
(Azami Mohammad)

Rabu, 10 September 2014

KOPI RAKYAT UNTUK MAHASISWA



KOPI RAKYAT UNTUK MAHASISWA
Azami Mohammad*

 
“Kalo ngerokok tapi gak ngopi, kurang mantap rasanya,”. Begitulah guyonan civitas akademis kampus UIN Jakarta di sela-sela waktu nongkrongnya. Hal ini menjadikan antara kopi dan mahasiswa ketika senggang tak pernah dilupakan. Namun, bukan berarti menyeruput kopi di waktu senggang bagi mahasiswa merupakan hal kosong tanpa bunyi dan substansi. Obrolan kopi ala mahasiswa inilah yang kemudian melemparkan berbagai isu dan obrolan menarik seputar sastra, politik, budaya, dan antropologi kampus. Ya, inilah ‘produk kebudayaan’ para civitas akademis dalam mengolah ruang intelektualitas dan artikulasi mereka.
 
Kantin, Koperasi mahasiswa, dan Warung kopi tak pernah sepi dari hiruk-pikuk mahasiswa. Perputaran ekonomi menengah ke bawah ini terus melaju bagaikan roda peruntungan bagi pelaku ekonomi tersebut yang hendak mempertaruhkan dirinya pada Ibukota Jakarta. Sadar atau tidak, fenomena yang terjadi terus-menerus antara ‘kopi’ dan mahasiswa akan menimbulkan dialektika informal antara mahasiswa dan ‘wong cilik’ sebagai pelaku ekonomi kreatif rakyat. Pola komunikasi seperti inilah yang mengkonstruksikan daya kepekaan mahasiswa terhadap kondisi sosial dan ekonomi bangsa ini. 

Dalam sejarahnya, gerakan mahasiswa di Indonesia selalu terbentuk dari kondisi sosial-kemasyarakatan hierarki paling bawah dengan para mahasiswa yang sering dikatakan sebagai ‘agent of change’. Runtuhnya rezim orde lama tahun 1966 dan orde baru pada tahun 1998 merupakan hasil dari konsolidasi antara mahasiswa dan masyarakat lapisan bawah. Dalam menggulingkan orde baru mahasiswa dan rakyat bergotong-royong menumbangkan rezim otoriter yang berkuasa selama 32 tahun lamanya.
Namun, hari ini mahasiswa telah terjangkit virus ‘life style’ ke barat-baratan. Pasalnya, Seven Eleven, KFC, dan tempat nongkrong import lainnya sedang merenggut romantisme mahasiswa dan warung kopi. Lihatlah Sevel (sebutan untuk Seven Eleven) yang setiap harinya selalu ramai dikunjungi penikmat produk import hingga 24 jam lamanya. Keramaian tersebut tak menggiring obrolan ringan soal sastra, politik, kritik kebijakan kampus terlebih lagi diskusi. Semua yang ada di dalamnya serba glamor, parlente, dan bersikap elitis. Ya, lagi-lagi ini soal selera, hak tersebut tak dapat digugat dan merupakan bagian dari dinamika. Singkirkan soal ‘idealisme’, ‘hedonisme’ atau apapun itu, sebab mungkin ini hanya soal selera dan pilihan.

Mahasiswa tak lagi ingin turun ke jalan, bergeliat dengan diskusi dan kajian yang kian terpinggirkan. Lucunya, hal ini terjadi setelah kebebasan berdiskusi telah direnggut kembali dari rezim otoriter orde baru. Seperti yang digambarkan oleh W.S Rendra dalam puisinya ‘Sajak Mahasiswa’ yang mengatakan “kampus diserang oleh tank baja, kata-kata dilawan kekerasan” betapa kebebasan yang secara instrument harapannya dicita-citakan oleh para mahasiswa selalu di marking oleh orde baru. Sungguh suatu hal yang signifikansinya mengarah kepada pola budaya intelektual yang jauh panggang daripada api.

Dewasa ini, kita bahkan nyaris tidak melakukan apa-apa terhadap kegamangan tersebut. Acuh-tak acuh, menggerutu, apatis, bahkan menganggap hal itu merupakan sebuah kewajaran yang terus-menerus dimaklumi. Bersikap tendensius dan menghujat tidaklah baik dalam etika civitas akademisi, yang ada hanyalah kritisisme. Maka, lagi-lagi penulis mengatakan ini hanyalah sekedar selera dan pilihan. Persoalan mahasiswa dan kopi rakyat, entahlah mungkin hanya akan ada nostalgia dan lembaran manuskrip romantik untuk membuka lembaran tersebut di kemudian hari.

*Penulis adalah Penikmat Kopi Warkop

BENYAMIN SUEB SI ANAK KAMPUNG ASAL BETAWI



Gambar dari: infoogue.blogspot.com

Oleh: *Azami Mohammad

“Anak Betawi… ketinggalan jaman, katenye. Anak Betawi… ngga berbudaye, katenye.. Penggalan lagu tersebut adalah soundtrack Si Doel Anak Sekolahan yang tenar di dunia perfilman pada tahun 1972 hingga awal tahun 2000-an yang disutradarai oleh Sjuman Djaja. Dalam gubahan lagu tersebut tentu saja banyak orang Betawi yang tersinggung dan lantas bertanya-tanya, kenapa kita sebagai orang Jakarta (metropolitan) asli dibilang ketinggalan jaman? Kenapa bukan orang Jawa atau Sunda? Dan masih banyak yang terbesit dalam benak orang Betawi mengenai gubahan lagu ini.

Asal punya usul, ternyata lagu tersebut adalah jawaban daripada cibiran-cibiran yang selalu dilontarkan kepada orang-orang Betawi. Memang jika dibandingkan dengan suku-suku lainnya yang ada di Indonesia, Betawi tak seseksi Minang, Jawa, Bali, Bugis, dan lainnya dalam obrolan tradisi dan kebudayaannya. Namun pada perjalanannya, muncul seorang seniman ‘nyentrik’ asal Betawi yang lahir pada tanggal 5 Maret 1939. Ya, orang tersebut bernama lengkap Benyamin Sueb tokoh seniman dari Betawi. Benyamin yang akrab disapa Bang Bens ini adalah seorang pelawak, actor, pemain lenong, sutradara, dan penyanyi. Hal ini menepis citra orang Betawi yang dikatakan ketinggalan jaman dan tidak berbudaya seperti dalam gubahan lagu Si Doel Anak Sekolahan tersebut.  

Benyamin kecil adalah seorang anak jahil yang periang. Terlahir dari keluarga Betawi pinggiran yang tidak kaya, Benyamin kecil sudah turut membantu keluarganya dengan mengamen keliling seputar kampungnya. Banyak orang yang memujinya dikarenakan memiliki suara yang khas dan gayanya yang humoris. Pada masa mudanya, Benyamin mulai memahami bahwa budaya lokalnya (Betawi) adalah identitas kebanggaan bagi dirinya. Sebelum namanya melambung di jagad entertain di Indonesia, Benyamin muda hanyalah seorang pemain lenong panggilan. Ia juga pernah menjadi tukang roti dorong dan kenek bis. Setelah menikah dengan gadis bernama Noni pada tahun 1959, barulah Benyamin kembali menekuni dunia musik. Karir musiknya melejit saat Ia bergabung dengan grup musik Naga Mustika. 

Apa yang teristimewa dari musik Benyamin? Pada tahun 1960-an, Soekarno melarang segala bentuk westernisasi di Indonesia. Ketika itu sedang gandrung music-musik import di kalangan kawula muda Indonesia, maka music yang berbau Barat pun dilarang oleh Soekarno. Namun, ketenaran musik adat tradisional memang sudah terlihat kalah pamor dengan music modern. Benyamin melihat gambang kromong yang kala ia kecil amat populer, kini tak sepopuler dahulu kala. Gambang kromong hanya dimainkan saat pentas lenong dan hajatan saja. Hal ini membuka matanya untuk memainkan kembali keroncong Betawi dan gambang kromong dengan perpaduan music modern. Seketika musiknya meledak di pasaran. Namanya pun terkenal di Indonesia sebagai musisi Betawi modern. Tak ayal Benyamin diacungi jempol oleh gurunya, seniman terkenal Bing Slamet.

Benyamin tak sekedar bermain musik. Lagu-lagunya sarat akan pesan moral, seperti lagunya yang berjudul ‘Kompor Meleduk’ Benyamin menyentil kebiasaan warga Jakarta khususnya, dan Indonesia pada umumnya yang suka membuang sampah dan enggan membersihkan lingkungan sekitarnya. Ia juga cinta kebudayaannya, lagu-lagunya tak melepas aksen Melayu Betawinya yang memang sengaja ia perdengarkan kepada khalayak. Benyamin juga seakan ‘pamer’ dengan kebudayaan Betawinya. Lagu ‘Ondel-ondel’ adalah buktinya, ia meluapkan kebanggaan kebudayaan Betawinya lewat musik. 

Dari pemain lenong menjadi pemain layar lebar. Ya, itulah Benyamin, orang Betawi yang jadi artis film. Di kemudian harinya, orang-orang Betawi banyak yang menjadi actor yang memang berbakat sebelumnya dalam aktor lenong. Bahasa ceplas-ceplos khas Betawi, gaya ‘nyentrik’ Benyamin yang kocak membuat ia disukai penikmat film di Indonesia. Maka puluhan filmnya ‘bolak-balik’ masuk bioskop layar lebar. 

Pada tanggal 5 September 1995, Benyamin menghembuskan nafas terakhirnya. Ia mendadak terkena serangan jantung sehabis bermain sepak bola. Memang Benyamin bukanlah tokoh terkenal Betawi seperti Pitung, Husni Thamrin, Raden Saleh, Bing Slamet dll. Namun dalam kalangan masyarakat Betawi, Benyamin adalah sosok orang Betawi sebenarnya yang lantang ingin terus menyuarakan bahwa masyarakat Betawi bukanlah nostalgia Jakarta belaka. Dibalik megahnya metropolitan, disana terdapat sekelompok masyarakat yang ketinggalan jaman dan ‘gak berbudaye’ Katenye.
*Penulis adalah anak Betawi asli

Selasa, 27 Mei 2014

Partisipasi Politik Warga Nahdliyyin



Warga Nahdliyyin dan Demokrasi Kepartaian

            Ketika manusia disebut sebagai zoon politicon, maka segala jenis kehendak untuk berkuasa yang ada di dalam diri manusia harus tereksistensikan dalam sebuah kontestasi politik. Sistem demokrasi yang kini tengah dianut oleh masyarakat global, mengatur segala konstruksi yang dapat menampung naluri berpolitik setiap individu maupun kelompoknya. Ukuran demokrasi yang paling jelas adalah hak pilih universal: hak setiap warga untuk memilih. Ya, pemilihan umum merupakan sebuah jalan bagi demokrasi untuk pemenuhan kehendak berkuasa sang “zoon politicon” tersebut. 

            Di Indonesia, pemilihan umum atau yang biasa disebut pesta demokrasi, selalu mendapat rating yang tinggi dalam agenda lima tahunan wajib bagi Negara yang menganut sistem demokrasi ini. Maka, pada faham demokrasi ini, agenda Pemilu di Indonesia bergagasan mengenai partisipasi rakyat dan partisipasi politiknya mempunyai dasar ideologis bahwa rakyat berhak turut menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin yang akan mewakili mereka. Partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat.[1] Maka dalam hal ini partisipasi politik amatlah penting dalam rekonstruksi sebuah sistem demokrasi yang berdaulat.

Organisasi massa Nahdatul Ulama merupakan organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. Pada perkembangannya, Nahdatul Ulama dan warga Nahdliyyin selalu turut andil dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Partisipasi politik warga Nahdliyyin akan selalu menjadi trending topic sebagai sebuah cek and balances serta ukuran sejauh mana keterlibatan umat Islam di Indonesia dalam bingkai Pemilu. Data yang disajikan pada tahun 2014 oleh Lembaga Survei Indo Barometer menyatakan bahwa dari sekitar 185 juta pemilih, 33 persen menyatakan diri sebagai warga Nahdliyyin. 

 Menurut almarhum K.H Abdurrahman Wahid dalam seminar nasional ‘Re-orientasi Wawasan Keislaman Muhammadiyah dan NU’ di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 1993 mengatakan, bahwa perjalanan NU selama 32 tahun resmi menjadi organisasi politik dapat dikatakan bahwa setengah hidup NU adalah berpolitik formal. Bila melihat kenyataan ini maka wajar-wajar saja kalau impulse-impulse politik tetap ada di lingkungan NU, tidak pernah mati dan malah mekar.[2]          
Kontes politik NU dari masa ke masa selalu dapat mengakomodir warga Nahdliyyin dalam berpolitik. Pasca Kemerdekaan, NU yang telah membentuk wadahnya sendiri dalam berpolitik pada tahun 1955 dapat meraup suara terbanyak ke-3 dalam Pemilu tersebut. Puncaknya adalah ketika sejumlah elite PBNU (Pengurus Besar Nahdatul Ulama) menyalurkan hasrat politiknya atas dasar pertimbangan mewadahi warga Nahdliyyin dalam berpolitik. Maka lahirlah PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) walaupun NU sendiri telah mendeklarasikan untuk kembali kepada khittah NU 1926. Pada tahun 1999, PKB keluar sebagai partai pemenang dengan K.H Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Indonesia ke-4.

            Warga Nahdliyyin selalu diberikan wadah dalam berpartisipasi politik oleh NU sebagai Organisasi massa yang menaunginya. Namun dewasa ini, partisipasi politik warga Nahdliyyin dalam segi konvensional, terlihat keengganan warga Nahdliyyin dalam berdemokrasi ala kepartaian.[3] Terlihat dari data yang disajikan oleh KPU dalam Pileg (Pemilihan Legislatif) 2014 yang menyebutkan bahwa PKB hanya meraup suara 9,8 persen. Hal ini amatlah signifikan dilihat, jika dari 33 persen warga Nahdliyyin yang ada hanyalah 9 persen kecenderungan memilih PKB. Maka dapatlah kita simpulkan bahwa sekitar 24 persen suara warga Nahdliyyin tercecer entah kemana. 

            Secara kultural, warga Nahdliyyin akan selalu berafiliasi dengan NU dalam setiap partisipasi politiknya. Perubahan arah partisipasi politik warga Nahdliyyin yang tak lagi kepartaian, dapat dianalisis dari teori Myron Weiner yang berpandangan, terdapat lima hal yang menyebabkan timbulnya gerakan ke arah partisipasi lebih luas dalam proses politik; meliputi modernisasi, perubahan struktur kelas sosial, pengaruh kaum intelektual, konflik di antara kelompok-kelompok politik dan komunikasi masa modern, konflik di antara kelompok-kelompok politik, serta keterlibatan pemerintah yang luas dalam berbagai bidang.[4]

            Terkait hal tersebut perlulah bagi NU me-reorientasikan kembali impulse-impulse politik bagi warga Nahdliyyin dan partisipasi politiknya. NU sebagai organisasi massa Islam terbesar di Indonesia merupakan tonggak kekuatan demokrasi serta kedaulatan Indonesia, yang berasakan Islam pancasilais dan Islam ke-Indonesiaan.

           
           
           
             


[1] Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik Suatu Pengantar, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), h. 3.
[2] Abdurrahman Wahid, Reorientasi Wawasan Keislaman NU dalam Politik, (Yogyakarta: LPPI UMY, 1993), h. 91.
[3] Sebuah demokrasi yang berdasarkan asas-asas kepartaian.
[4] Arifin Rahman, Sistem Politik Indonesia dalam Prespektif Struktural Fungsional (Surabaya: SIC, 2002), h. 130-131.